Senin, 28 April 2008

Jantur Inar Yang Terkulai

INAR - nama seorang putri bangsawan yang hidup di sekitar tahun 1.800 di Kampung Temula - Kecamatan Nyuatan - Kabupaten Kutai Barat - Provinsi Kalimantan Timur, yang namanya kini diabadikan pada sebuah air terjun -yang dalam bahasa Dayak setempat disebut Jantur yang ketinggiannya mencapai 60 meter.

Sesungguhnya kisah Inar, sebuah kisah hidup yang dirundung duka lara dan kepedihan hidup gadis muda yang harus mengakhiri hidupnya dengan terjun ke dalam air terjun yang telah mengabadikan namanya. Sewaktu Bangsa Belanda menduduki bumi pertiwi khususnya Kalimantan (Borneo), seorang Tumenggung bernama Ngaroh dengan gelar Setia Raja, memiliki 8 anak, yaitu Krongo (Kakah Lauq), Tuli (Kakah Mantiq), Tongaq (Kakah Blokoq), Kobaq (Kakah Bioroq), Teq, Main, Ukay dan Ruay. Ragetn seorang cucu sang Tumenggung dari anak sulung, Krongo, menikah dengan Kudus dan tinggal di Lamin Temula. Empat anak dilahirkan Ragetn yaitu, Ayus, Lejiu, Gunung dan Inar sebagai putri bungsu.

Kisah ini diceritakan oleh Yopentius Sangkin, 79 tahun, cicit kandung dari Ayus saudara tertua Inar, yang pernah menjabat Kepala Kampung Temula periode 1984-1994 dan Kepala Adat selama 6 tahun.

Setelah dewasa Inar menikah dengan seorang pemuda bernama Baras namun keduanya tidak dikaruniai anak. Sejak kecil Inar menderita penyakit barah, semacam kudis dan lemah tulang setengah lumpuh. Suatu saat sang suami mengalami kebutaan hingga tidak bisa bekerja untuk menghidupi Inar dan dirinya sendiri, akhirnya Inar harus bersusah payah untuk mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, ditambah lagi tidak ada satupun sanak saudaranya yang mau menghiraukan dan memperhatikan nasibnya.

Hingga pada suatu hari Inar dan Baras beristirahat di puncak sebuah air terjun yang mengalir deras setelah seharian bekerja menjadi umbi keladi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari di dalam keranjang rotan (Lanjung) besar. Disaat keheningan itu Baras marah-marah dengan mengeluarkan suara yang cukup keras sambil melempar batu ke bawah jantur, karena menyesali nasib hidupnya yang hina dina. Kemarahan Baras itu dilatarbelakangi karena dia tidak bisa bekerja disebabkan kebutaan ditambah lagi isterinya Inar selalu sakit-sakitan. Tanpa berpikir panjang tiba-tiba Baras mendorong istrinya ke bawah air terjun yang cukup tinggi mencapai 60 meter disusul oleh Baras dan seketika itu juga Baras mati ditempat. Namun lain halnya dengan Inar, ia tidak mati karena ditahan oleh sebuah Pelangi yang muncul tiba-tiba dan hilang secara gaib bersama jasad Inar dan itu hingga sekarang tidak pernah ditemukan, maka sejak itu jantur di Kampung Temula Kecamatan Nyuatan diberi nama Inar atau dikenal Jantur Inar.

Dibalik cerita mistik yang mengharukan, Inar tetap menjadi idola untuk berwisata dan tidak pernah pengunjung jantur terganggu oleh fenomena gaib walaupun lokasi sekitar Inar cukup membuat bulu kuduk merinding bila sedang sepi atau ketika hari menjelang senja. Karena itu semua tenggelam dalam pikiran yang terbuai gemercik air jantur yang bersih dan dingin ketika mandi atau sekedar memandangi air yang terjun dari ketinggian 60 meter sambil mendengarkan alunan lagu yang teratur yang dihasilkan air terjun memukul kumpulan bebatuan yang tersusun rapi di dasar kolam. Bahkan Kesejukan makin terasa dibarengi oleh hempasan embun yang dilemparkan benturan air terjun dengan batu alam di hutan yang terbilang masih perawan.

Inar yang berada di Kampung Temula sekitar 30 km dari Sendawar, dapat dicapai dengan kendaraan roda dua maupun empat dan jalan ke sana sangat baik karena sudah diaspal dengan memakan waktu sekitar 1 jam. Inar yang berada di ujung Kampung Temula dan sebelum sampai ke sana pengunjung akan melewati beberapa kampung seperti Mencimai, Enkuni Pasek, Pepas Eheng, Muut dan Terajuk. Di kampung yang dilewati ini juga menyimpan potensi objek wisata yang menarik untuk dikunjungi seperti Kampung Pepas Eheng yang memiliki objek wisata Lamin Adat Eheng dan Lungun Batu Bergantung.

Jantur Inar yang berada di kiri jalan menuju ibukota kecamatan Nyuatan yaitu Dempar, akan nampak papan nama Jantur Inar yang terpampang dengan jelas. Setibanya Kurang lebih 400 meter melalui jalan tanah sampailah ke puncak jantur Inar yang seakan menarik kita untuk turun ke bawah dengan suara hempasan airnya. Jantur setinggi 60 meter lebih ini masih kelihatan alami dengan lumut-lumut yang menempel di batu-batu dan tumbuhan liar di sekelilingnya. Untuk melihat keindahan Jantur Inar pengunjung harus menuruni sekitar 200 anak tangga berjarak 20 centi meter satu sama lain.

Namun saat penulis berkunjung ke Jantur Inar, ada sebuah keprihatinan yang meniris hati dan mata walaupun keindahan disuguhkan oleh si Inar. Hutan perawan yang ada telah ada sejak dahulu kini habis ditebang penduduk sekitar untuk dijadikan areal perladangan, akibatnya pemandangan hijau serta kicauan burung kini telah berkurang dan mulai hilang berganti dengan padang tandus yang berwarna coklat kehitaman-hitaman akibat aktifitas pembakaran hutan. Disatu sisi juga disekitar areal objek wisata dan sepanjang sungai yang mengalir ke dalam Jantur Inar mulai dipenuhi pemukiman penduduk, akibatnya menambah kekumuhan areal objek wisata, dan debit air kian hari kian menyusut, dan akan berlimpah air di musim penghujan. Lambat laun air yang dahulu bersih bening akan berubah menjadi coklat dan diikuti sampah dari segala aktifitas manusia yang ada di atasnya. Inar yang dulunya sakit lumpuh dan mengidap barah atau luka yang berbau busuk, hampir tidak jauh berbeda dengan keadaan yang ada sekarang ini. Inar sekarang tetap saja Inar Yang Terkulai. MAHP

1 Komentar:

Pada 5 Februari 2013 pukul 10.52 , Blogger Unknown mengatakan...

aq pernah kesana tahun 2008 awal tahun sangat meprihatikan keadaan disana, padahal air terjunnx bgus bgt semoga pemerintah daerah memperhatikan kondisi jantur inar

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda