Rabu, 30 April 2008

Hagong Wanita Berusia 110 Tahun

ALANGKAH indahnya bila kita memiliki umur yang panjang, dan kalau bisa sampai 1.000 tahun sehingga dapat melihat keturunan mulai cucu, cicit dan buyut, namun tidak semua manusia dapat menikmati itu dan hanya bagi mereka saja yang diberikan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa. Perpetua Hagong Hangin satu dari antara sekian umat manusia yang diberikan karunia oleh Tuhan untuk dapat hidup mencapai 110 tahun dan diberikan kesempatan untuk melihat 143 orang anak hingga buyut yang terdiri dari 9 anak, 8 menantu, 62 cucu, 28 buyut, 21 mantu cucu, 15 mantu buyut.
Di dalam usia 110 tahunnya, Hagong Hangin masih memiliki tubuh yang kuat dan dapat berjalan walaupun tidak jauh, bahkan memiliki mata, pendengar dan daya ingat yang sehat dan kuat. Dari raut wajah wanita tua ini masih terlihat awet muda dibandingkan dengan anak ketiganya Dionisius Luq yang mendampingi beliau untuk menterjemahkan bahasa Indonesia ke bahasa Dayak Bahau. Walaupun sebenarnya beliau sangat fasih bahasa Indonesia, sehingga saat berbicara terkadang bercampur bahasanya yaitu bahasa Indonesia dan Bahau. “Saat menjadi tenaga pendidik, saya paling takut dengan adat Dayak potong kepala manusia (Ayau) namun karena saat melaksanakan pekerjaann selalu ditemani beberapa laki-laki sehingga tidak merasa takut saat bekerja,” Kata Hagong dengan penuh semangat.
Ditambahkannya, masih dalam ingatan ketika hendak mengajar ke kampung-kampung seperti Apokayan, Tering hanya bisa ditempuh dengan perahu dayung yang berjumlah 8 orang yang terdiri dari 6 pria dan 2 wanita yaitu Perpetua Hagong Hangin dan Song Ding yang kebetulan adalah guru pendidikan. “Kami harus berdayung hingga berhari-hari bahkan berbulan-bulan untuk mencapai tempat tersebut dan paling jauh adalah Kampung Apokayan yang sekarang berada di Malinau, dan untuk sampai kesana harus melewati keganasan riam bahkan harus bermalam berhari-hari kalau air di riam terlalu ganas,” ceritanya. Awal mula menjadi tenaga pendidik, karena niat menjadi suster tidak mendapat restu dari pastor orang Belanda, dan ketika lulus sekolah ada seorang suster Belanda yang kembali ke negaranya, dan sebelum kembali suster tersebut meminta Hagong Angin untuk meneruskan pendidikan yang telah berjalan. “Tanpa memutuskan terlalu lama akhirnya memutuskan untuk meneruskan pendidikan yang telah berjalan hingga tahun 1940 mendidik,” ujarnya.
Dalam catatan sejarah Keuskupan Agung Samarinda tentang perjalanan hidup Perpetua Hagong Angin diceritakan, lahir di Mamahak Besar sekitar tahun 1898 merupakan anak ketiga dari pasangan suami isteri Bayo Ulo dan Hangin Ure. Menjadi murid sekolah rakyat para misionaris di laham yaitu selama tiga tahun dan melanjutkan pendidikan selama 3 tahun di Vlock School dan 2 tahun di Miss School. Setelah itu Hagong Hagin dipercayakan menjadi guru pertama sebagai pengajar pribumi di Laham, dengan masa mengajar di Laham sekitar 2 tahun kemudian dipindahkan ke Tering selama 1,5 tahun dan kembali ke Laham sampai menikah.
Pada tanggal 15 Desember 1934 ia dipersunting oleh Bapak Hajang Bulang, seorang pemuda asal kampung Ujoh Bilang, kelahiran Long Pahangai pada tanggal 10 Mei 1896 dari pasangan suami isteri Helaq Doh dan Bulan Mataliq. Selanjutnya para misionaris mengirim pasangan suami isteri ini untuk berkarya antara lain di Kampung Long Pakaq untuk mengawali karya sebagai guru dan pembukaan sekolah sebagai kepala sekolah, kemudian pindah ke Ujoh Bilang, Long Iram, Tekajung (Kalteng), Sirau, Jemhang (Apokayan), Gemuruh, Melak, Sei Akah, Datah Bunyau dan Mamahak Besar hingga pension pada tanggal 01 November 1974. MAHP












Selasa, 29 April 2008

44 Tahun HUT Kecamatan Long Bagun

- Upaya Pemekaran Kabupaten Kayaan Mekaam

KAMIS 22 November 2007, tepat pukul 08.00 wite, penulis bersama-sama teman-teman dari Humas Protokol Kabupaten Kutai Barat Provinsi Kalimantan Timur berangkat menuju ke Kecamatan Long Bagun guna menghadiri festival pagelaran seni dan budaya Kayaan Mekaam yang diselenggarakan di ibukota Kecamatan yaitu Ujoh Bilang. Awalnya rombongan berkumpul di Kantor Bupati Kubar kemudian bersama-sama berangkat menuju pelabuhan Tering dengan menggunakan speedboat milik Pemkab Kubar Setkab III.

Perjalanan menuju Kampung Ujoh Bilang ditempuh dalam waktu sekitar tiga jam. Banyak kampung yang berdiri di sepanjang sungai Mahakam, yang menghiasi perjalanan rombongan menuju Kecamatan Long Bagun seperti Kampung Ujoh Halang, Kelian Luar, Mamahak Teboq, Lutan, Datah Bilang, Rukun Damai, Long Daliq, Long Iram, Kampung Bugis, Bayan, Kelubaq, Muara Leban dan tidak ketinggalan adalah pulau Kuning dimana terdapat kuburan keramat yang banyak sekali didatangi oleh orang-orang yang mencari ilmu kebatinan dan ingin sukses dalam usaha, karir dan cinta. Hingga kini tidak diketahui siapa yang bersemayam disana, hanya saja konon cerita kalau air banjir pulau ini khususnya kuburan yang berwarna kuning ini tidak pernah tenggelam.

Setelah menempuh waktu sekitar 2 jam, rombongan beristirahat sebentar di Kampung Datah Bilang Kecamatan Long Hubung untuk mengisi kampung tengah alias lapar dan mengisi bahan bakar speedboat yang berkekuatan 200 PK dengan motorisnya Aidi. Setelah sekitar 40 menit makan pagi walaupun sudah siang hari jadi sekaligus makan siang, kamipun berangkat menuju Kecamatan Long Bagun. Tepat pukul 12.00 wite tiba di dermaga Kecamatan Long Bagun, ketika tiba disana kami suasana kampung biasa-biasa seperti tidak ada aktifitas sedikitpun ternyata keramaian terkonsentrasi di lamin adat “Amin Adat”.

Kami terus berjalan meninggalkan dermaga menuju rumah dinas Camat Long Bagun Rosalina Song, kemudian disambut dengan upacara adat Napoq (penyapaan) yang dilaksanakan oleh isteri Kepala Adat Besar Long Bagun Magdalena Payaq Hang, dengan memberikan satu persatu kepada kami gelang manik (Lekuuq) yang menandakan rombongan yang datang adalah tamu dari luar kampung sehingga tidak boleh diganggu oleh siapapun, baik penunggu kampung maupun warga kampung. Namun dalam kesempatan itu juga isteri Kepala Adat Besar Kecamatan Long Bagun yang nama suaminya Konstantinus Luhat Igang memberi nama adat Bahau Busang kami. Untuk Christianus Arie Abeh diberi nama Lejau, Melanie diberi nama Tipung, Yunus diberi nama Madang, Tommy diberi nama Blareq, Robby diberi nama Blawing, John Wesley diberi nama Bahalan dan Penulis diberi nama Lawing.

Seusai melaksanakan upacara adat Napoq, kami melanjutkan perjalanan ke Penginapan Maya untuk beristirahat, namun saat sedang enak-enaknya beristirahat, tepat pukul 14.00 wite, Camat Long Bagun Rosalina Song memanggil kami untuk meliput kegiatan pemasangan tugu prasasti HUT Kecamatan Long Bagun. Dengan perasaan lelah kami beranjak menuju lamin adat dan ternyata disana sudah banyak warga Long Bagun berkumpul terutama kaum pria, kemudian mereka berjalan beramai-ramai dari lamin adat “Amin Adat menuju ke belakang kampung tepatnya diperbukitan kampung yang berjarak sekitar 500 meter untuk mengambil tugu prasasti yang terbuat dari kayu ulin yang usianya sudah ratusan tahun. Kayu ulin yang memiliki lingkaran sekitar 90 centimeter, dicat berwarna coklat sewarna dengan kulit ulin. Sementara itu di lingkaran ulin itu dihiasi ukiran dayak berupa ukiran bunga, manusia dan segala macam binatang, sedangkan diatasnya berbentuk ukiran kepala naga, rusa dan burung. Sedangkan dibagian belakang terdapat ukiran topeng menyerupai muka manusia dan dibawahnya tertera nama 13 camat yang telah memerintah Kecamatan Long Bagun sejak terbentuk tahun 1963. yaitu Muhammad Kudsie dari tahun 1963-1970, Liang Hong Jeng dari tahun 1970-1976, John Aminuddin BA dari tahun 1976-1979, John Gimax Sombeng BA dari tahun 1979-1982, Drs Lidjo Kaya MM dari tahun 1982-1985, Drs Murni Neri dari tahun 1985-1992, Drs Stanislaus Liah dari tahun 1992-1997, Drs Paul Usat Liban dari tahun 1997-2000, Drs Fernandus dari tahun 2000-2003, Ibau Liq dari tahun 2003-2004, Yan Nasir Ssos dari tahun 2004-2005, Laurensius Paran dari tahun 2005-2006 dan Rosalina Song dari tahun 2006 hingga sekarang.

Tugu prasasti itu diangkut oleh kaum pria yang bertubuh gagah dan kuat dan jumlah hampir mencapai ratusan orang baik tua dan muda bersama-sama mengangkat tugu prasasti yang terbuat dari kayu ulin dengan berat hampir mencapai 500 kilogram dengan menggunakan tandu yang telah diikatkan pada tugu tersebut. Sebelum diangkat menuju kantor Kecamatan Long Bagun, terlebih dahulu Kepala Adat Besar Long Bagun Konstantinus Luhat Igang membacakan doa-doa permohonan kepada penguasan alam semesta agar merestui penggunaan ulin untuk dijadikan tugu prasasti peringatan HUT Long Bagun yang ke 44. Begitu selesai membacakan doa, Kepala Adat Besar ini memecahkan telur ayam kampung dan memoleskan ke setiap bagian tugu prasasti dan tak lama kemudian prasastipun diangkat. Sembari meneriakkan teriakan keras “Oooooo”, barisan pria tua dan muda perlahan-lahan bergerak meninggalkan lokasi semula tempat diukirkan kayu ulin yang dibuat selama tujuh hari yang dikerjakan oleh empat pengukir Long Bagun yaitu Jaang Kueng, Tului Lisang, Ding Bulan dan Hanyeq Jeno. Adapun makna dari tugu prasasti yang banyak didominasi ukiran Dayak ini menggambarkan masyarakat Long Bagun yang bersatu hati, bersatu pikir untuk membangun seni budaya dan pembangun di kecamatan ini untuk lebih maju sehingga tercapai masyarakat yang sejahtera.

Begitulah yang diungkapkan oleh M Sain saksi satu-satunya yang masih hidup dalam pembentukan Kecamatan Long Bagun yang berdiri pada tanggal 1 Oktober 1963. Katanya, masih segar dalam ingatan bagaimana pertama kali Kecamatan Long Bagun berdiri menjadi sebuah kecamatan yang memisahkan diri dari Kecamatan Long Iram, tepat 1 Oktober 1963 bersama Camat Long Bagun pertama M Kudsie dibantu empat staf berangkat ke Long Bagun, dan informasi didapat di Long Iram sudah ada mes pegawai kecamatan untuk tinggal. Namun ternyata begitu tiba di Kecamatan Long Bagun mes yang diungkapkan tidak sesuai dengan kenyataan, yang dindingnya hanya terbuat dari kulit kayu sehingga banyak lubangnya disana sini, sedangkan lantai terbuat dari bambu. Sementara suku Dayak kala itu masih tinggal di alam tidak seperti sekarang sudah punya rumah. Adapun tujuan dibentuknya Kecamatan Long Bagun dan dikirimnya pegawai kesini untuk membantu masyarakat Dayak dari ketertinggalan pendidikan sehingga mereka maju berpikir sehingga tercapai kesejahteraannya.

Ditambahkannya, meskipun dengan gaji Rp 250 dikala itu, bahkan untuk membeli rokok saja tidak bisa tetap memiliki semangat yang kuat untuk memajukan masyarakat Dayak yang kala itu masih hidup dalam keterbelakangan. Bahkan harus rela menggunakan perahu dayung menjelajah pedalaman Mahakam, karena kalah itu belum ada mesin perahu atau speedboat kala itu dibandingkan sekarang ini. Yang lebih menyedihkan lagi berdayung dari satu tempat ke tempat lain dan berkutak dengan keganasan riam Udaang yang perahunya ditarik dengan tali rotan saja tetap saja bersemangat, bahkan tidak segan-segan bermalam di tengah hutan. “Itulah resiko kala itu dari sebuah pekerjaan, dan itu sangat berbeda sekali dengan keadaan sekarang yang jauh lebih modern,” ujarnya menutup percakapan.

Akhirnya tugu prasasti yang diangkut ratusan pria dan wanita, tiba juga di depan Kantor Kecamatan Long Bagun yang berjarak 700 meter dari lokasi semula. Bahkan sewaktu memindahkan tugu prasasti itu banyak kejadian lucu, dimana banyak hiasan-hiasan dayak, spanduk HUT Kayaan Mekaam roboh karena tertarik oleh tandu yang terlalu lebar melebih lebar jalan, bahkan ada sebagian penonton yang membawa motor buru-buru menyingkirkan motor karena takut tertabrak tandu yang dibawa ratusan pria tua dan muda.

Kemudian tali tandu yang mengikat tugu itu satu persatu diputuskan, seusai itu kembali Kepala Adat Besar Long Bagun Luhat memanjatkan doa dengan rencana akan didirikan tugu prasasti sebagai tugu peringatan atas HUT Long Bagun yang ke 44. setelah itu Luhat meletakkan daun pisang ambon yang digulung dan memecahkan sebutir telur ayam kampung ke dalam lubang tiang. Begitu selesai para pria itu kembali bersama-sama menarik tugu itu untuk didirikan, dan dalam hitungan 10 menit akhirnya tugu peringatan itu berdiri yang nantinya akan diresmikan oleh Wakil Bupati Kubar H Didik Effendi Ssos.

Setelah berdiri kembali lagi Luhat melanjutkan prosesinya untuk merestui telah dipasang berdirinya tugu peringatan, kemudian disamping tugu itu ditancapkan tiga tiang bambu yang diatasnya diletakkan tiga buah telur ayam. Sambil memanjatkan doa, Luhat memecahkan sebutir telur dan dioleskan ke tiang tersebut, tiba-tiba dari sela-sela kerumunan manusia yang memadati lapangan, menyeruak seekor babi putih yang dimasukkan dalam karung plastik dan seekor ayam jantan. Tidak berapa lama kemudian Luhat memerintahkan beberapa orang pemuda untuk segera menyembelih kedua hewan tersebut, dalam sekejap mengucur darah segera dari kedua leher hewan tersebut dan membasahi tanah dekat tugu itu berdiri. Pada saat darah itu sudah mau habis, pembantu adat menyorong sebuah piring kecil untuk menampung darah tersebut, setelah merasa cukup piring itu diserahkan kepada Luhat, dan dengan pelan-pelan diambilnya piring itu dan kemudian Luhat kembali berdoa sambil mengoleskan darah kedua binatang itu kepada tugu prasasti. Begitu darah itu dioles nampak warga Long Bagun mulai dari anak-anak berebutan mengambil darah dari dalam piring yang dipegang Luhat untuk mengoles darah itu ke tugu peringatan itu. Bahkan tertangkap oleh Penulis seorang anak gadis yang masih duduk di SMP sambil mengoles darah ia memanjatkan permohonan agar Dalam menghadapi ujian kelulusan dapat lulus dengan nilai baik. MAHP


Tamasya Karangan

KETIKA air sungai Mahakam mengalami penurunan volumenya di bulan Oktober hingga Maret dikarenakan musim kemarau tiba ternyata membawa berkah bagi masyarakat Kubar yang tinggal di sepanjang sungai. Karena saat air sungai surut banyak bermunculan pulau pasir ditengah-tengah sungai, dan dalam masyarakat Kabupaten Kutai Barat Provinsi Kalimantan Timur disebut dengan nama Karangan.

Keberadaan Karangan selalu dijadikan tempat objek wisata, dimana warga setempat maupun wisatawan lokal yang berasal dari daerah daratan seperti Linggang Bigung, Sekolaq Darat, Barong Tongkok memanfaatkan tempat itu untuk berwisata di atas karangan dengan membawa makanan dan minuman sambil berenang karena saat itu air sungai Mahakam jernih, bening, bersih dan dingin sekali. Selain untuk berwisata juga dimanfaatkan warga disekitar karangan untuk mengumpulkan ranting-ranting kayu yang hanyut untuk dimanfaatkan sebagai kayu bakar. disamping itu juga yang paling seru lagi banyak warga yang menggunakan kesempatan mencari biji-biji emas yang tersembunyi dibalik pasir karangan.

Mengetahui hal itu Penulis menyempatkan diri berkunjung ke salah satu karangan di Kampung Keliwai - Kecamatan Long Iram yang banyak sekali ditemukan kayu bakar, batubara dan biji emas, dan dengan ditemani tiga anak dari kampung tersebut yang merupakan keturunan Dayak Bahau yaitu Kuleh, Loren dan Anton yang ketiga masih duduk di sekolah dasar SDN 008 Keliwai untuk melihat dari dekat karangan yang ada di depan Kampung Keliwai dengan Kampung Long Daliq dengan lebar karangan mencapai 10 meter dengan panjangnya mencapai 3 kilometer.

Dengan menggunakan perahu kayu bermesin ces berkekuatan 5 PK yang dibawa Loren siswa kelas 5 ini dengan santai menarik tali stater ces dan seketika itu juga menyala, kemudian dengan perlahan-lahan dia menurunkan baling-baling ces ke dalam air dan dalam sekejap perahu ces melaju membelah air sungai menuju hulu kampung tempat letak karangan. Dalam hitungan beberapa detik akhirnya sampailah di atas karangan, perahu yang digunakan berlabuh di atas karangan. “Hampir setiap sore warga dari kedua kampung bermain di atas karangan seperti mandi, mencari kayu, batu bara yang dalam bahasa dayak disebut Batoq Apuy bahkan mencari butir-butir emas,” ungkap Loren saat menjejakkan kakinya di atas karangan.

Sebenarnya untuk dapat tiba di atas karangan bisa dilakukan dengan dua cara yaitu berenang atau mengunakan perahu, katanya, kalau berenang dapat dilakukan dari Kampung Keliwai karena sungainya sangat dangkal sekali, bahkan kalau surut dapat berjalan di atas dasar sungai yang kedalam air hanya mencapai 80 centimeter meskipun begitu harus ekstra hati-hati karena arus air sungai cukup deras. Sebenarnya dari Kampung Long Daliq juga dapat digapai melalui berenang hanya saja itu terlalu berbahaya karena dasar sungai sangat dalam sekali dan arus air sangat deras sekali sehingga sangat berbahaya sekali dan lazimnya warga dari kampung ini menggunakan perahu ces. Bahkan kebanyakan kapal-kapal besar lebih banyak melintas dari alur sungai ini karena sangat dalam sekali dibandingkan dari kampung Keliwai, walaupun begitu jenis perahu ces juga dapat melintas di alur sungai yang melintas depan kampung Keliwai.

Kemudian Penulis mengajak ketiga anak Kampung Keliwai untuk mengelilingi karangan sembari mengumpulkan kayu bakar dan keranjang rotan atau dalam bahasa Dayak disebut anjat dibawa Loren. Tanpa sadar tiba-tiba Anton berteriak, “Batoq Apuy,” sambil mengambil batu berwarna hitam sebesar bola kasti yang cukup ringan sekali dan tidak berapa lama kemudian Loren maupun Kuleh termasuk Penulis juga mendapatkan batubara yang kemudian dikumpulkan dalam anjat yang dibawa Loren yang jumlah hampir mencapai puluhan buah batubara. “Oya disini banyak sekali batubara Om, dan biasanya dikumpulkan untuk pemantik api saat menghidupkan kayu api, disamping itu juga dipergunakan untuk pemanas tubuh yang baranya dikumpulkan dalam kaleng yang sering digunakan pada saat musim penghujan atau juga digunakan untuk mengusir Agas hewan kecil seperti nyamuk yang suka menghisap darah manusia di saat sore hari menjelang magrib,” ungkapnya.

Saat tiba di ujung karangan tepatnya dihulunya karangan yang menghadap Kampung Ujoh Halang, kami melihat seorang iburumah tangga yang dipanggil warga Kampung Bibi Bung sedang duduk di dalam air sambil tanganya mengerakkan piring besar dengan lebarnya 50 centimeter. Ternyata sedang asyik mendulang emas atau dalam bahasa daerah disebut Ngerebooq. Piring yang dipegangnya adalah sebuah kayu yang dibentuk sedemikian rupa menyerupai piring besar yang disebut Dulang, saat itu terlihat dia sedang mengambil pasir dari dasar sungai dan dimasukkan dalam piring lalu digoyang-goyang Dulang berlawanan arah jam. “Saya ini lagi mencari biji emas saat karangan timbul karena air sungai Mahakam surut,” akunya.

Ditambahkannya, sebenarnya keberadaan bijih emas di karangan Kampung Keliwai ini tidak dapat dipisahkan dari keberadaan sungai Babi yang mengalir dari tambang emas milik PT KEM. Karena dari PT KEM itu sungai Babi bermuara ke Sungai Mahakam, sementara itu di dalam sungai Babi banyak sekali warga yang tinggal di atas sungai untuk mencari biji-biji emas dan terkadang hanyut hingga ke karangan di Keliwai. “Walaupun begitu karangan ini dulunya penuh dengan biji emas dan banyak warga yang mendulang di atas karangan ini, seiring dengan berhentinya PT KEM maka sejak itu juga bijih emas menipis, walaupun terkadang masih ada juga biji emas dengan jumlah yang sedikit,” ujarnya.

Kemudian Bibi Bung menunjukkan biji emas yang didapatnya dalam mangkok plastik berwarna pink, yang beratnya sekitar 2 gram dan itu nantinya akan dijual ke ibukota Kecamatan Long Iram karena banyak berkumpul penjual dan pembeli emas mentah. “Lazimnya bijih emas ini dihargainya untuk satu gramnya senilai Rp 120 ribu, dan biasanya dapat sebanyak itu jadilah untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari,” ujarnya.

Tak terasa matahari mulai tenggelam keperaduannya, dan kamipun harus kembali ke rumah untuk beristirahat sambil membawa kayu bakar dan batubara yang telah dikumpulkan. Sementara itu saat berada di rumah, Diman warga Kampung Keliwai menceritakan tentang lebar sungai Mahakam. Katanya, sungai Mahakam dulunya tidak selebar sekarang ini dan kalau tidak salah lebarnya hanya 10 meter saja, dan dulu ketika masih kecil berani berenang dari Kampung Keliwai ke Kampung Long Daliq pulang pergi. Namun sekarang ini tidak ada satupun yang berani karena lebar sungai Mahakam hampir mencapai 20 meter karena rusak diserang erosi gelombang air yang mengalir deras dari hulu Mahakam. Mudah-mudahan lebar sungai Mahakam di kampung ini tidak semakin lebar karena berdampak pada rumah penduduk yang terkena erosi sehingga mau tidak mau harus pindah. “Dulunya dari pinggir sungai sekarang ke arah depan sepanjang 10 meter banyak ditumbuhi tanaman kelapa dan kayu namun kini telah hilang tenggelam di dalam sungai dan itu dapat terlihat di dasar sungai dimana bekas-bekas kayu itu ketika air sungai Mahaam surut,” ungkap Diman. MAHP

Senin, 28 April 2008

Ekor Kera Pukul Gong Berubah Batu


BERAWAL dari sebuah keisengan seorang warga yang sebenarnya tidak boleh dilakukan alias pantang atau pamali akhirnya berdampak pada timbulnya bencana besar sehingga orang lain ikut menerima akibatnya seumur hidup. Dalam kehidupan masyarakat Kampung Keay, Kecamatan Damai pada ribuan tahun lalu, ada seorang warganya iseng-iseng memukulkan ekor monyet panjang sejenis Lutung Putih pada sebuah gong dalam acara adat kematian – dalam bahasa Tunjung Benuaq disebut Kwangkai – maka terjadilah bencana besar dimana semua mahluk hidup, peralatan adat dan peti mati di dalam proses acara itu menjadi batu – dan legenda itu dikenal dengan Batuq Lungun (Batu Peti Mati). Kini legenda Batuq Lungun masih tersimpan rapi di dalam hutan lebat Kampung Keay, walaupun ketika melihat situs itu sungguh memprihatinkan sekali karena tidak terawat karena diatas dua batuq lunggun dipenuhi tumbuhan lumut.

“Sebenarnya perbuatan itu tidak boleh dilakukan, karena dalam masyarakat Dayak Tunjung Benuaq itu pantang memukulkan ekor kera ke alat musik seperti gendang. Karena masyarakat Dayak menyakini asal muasal kera adalah manusia yang berubah wujud karena tingkah lakunya yang aneh seperti binatang,” kata Kepala Adat Kampung Keay Jingkuy Di lokasi situs Batuq Lungun, sebelum memasuki lokasi tepatnya di pintu masuk terdapat sebuah lesung batu yang dipergunakan untuk menumbuk padi. Jingkuy menjelaskan, di sekitar areal inilah letak situs purbakala Batuq Lungun dengan tanda sebuah lesung kayu yang telah berubah menjadi batu akibat kena kutukan dan ini adalah pintu masuk ke dalam areal situs tersebut. Batu yang berbentuk lesung panjangnya 2 meter dan ditengahnya terdapat dua lubang yang terbentuk sangat rapi sekali dan halus dibentuk oleh tangan manusia dengan ukuran 15 dan 20 centimeter. Namun sayang sekali batu itu telah ditumbuhi dengan lumut hijau sehingga terkesan tidak terawat. Kemudian melanjutkan perjalanan ke situs Batuq Lungun yang letaknya di pinggir mata air Sungai Lungun. Sambil menunjukkan kedua batu yang berbentuk peti mati Jingkuy mengatakan, inilah Batuq Lungun yang dahulunya adalah peti mati yang dalamnya berisi tubuh manusia yang telah meninggal dan biasanya disimpan dalam peti mati yang terbuat dari sebatang kayu yang dilubangi sebesar ukuran tubuh manusia yang meninggal. Jaman dulu penduduk Kampung Keay belum sebanyak sekarang ini hidup berkelompok di daerah ini karena sangat subur sekali dan aktifitas mereka sehari-hari berkebun dan berladang guna mencukupi kebutuhan hidupnya. Bertahun-tahun mereka menempati daerah tersebut dan tidak ingin pindah karena kesuburan tanahnya, akibatnya keluarga itu semakin bertambah banyak dan akhirnya mereka bersepakat untuk membangun sebuah lamin besar dan panjang. “Lalu suatu hari mereka berkumpul dan bekerja sama mencari bahan bangunan untuk mendirikan rumah panjang dan besar yang sekarang dikenal dengan Lamin. Setelah berbulan-bulan menbangunnya akhirnya bangunan itu selesai dibangun dan seluruh keluarga diboyong dari rumah pondokan ke dalam lamin dan hiduplah dengan damai dan tentram dalam satu atap,” ceritanya. Bertahun-tahun hidup damai tentram, lanjutnya, tiba-tiba salah satu anggota keluarga jatuh sakit. Lalu dengan segala cara dilakukan untuk mengobati penyakit yang diderita namun tidak kunjung jua sembuhnya. Bahkan dipanggil seorang dukun yang diharapkan mampu untuk mengobati penyakit itu tapi tidak kunjung sembuh sampai akhirnya nyawa anggota keluarga itu tidak dapat tertolongkan lagi dan meninggal dunia sehingga duka yang dalam bagi penghuni lamin. Keesokan harinya, seluruh anggota keluarga bergotong royong menebang kayu besar untuk dibuatkan peti jenazah atau dalam bahasa Dayak Tunjung Benuaq Lungun. Proses pembuatan Lungun memerlukan waktu yang panjang dan baru sore hari jasad anggota keluarganya meninggal baru dapat disimpan dalam peti jenasah. Lalu selama tujuh hari tujuh malam mereka mengadakan upacara kematian (Kwangkai), upacara itu berlangsung dengan khidmat. Semuanya bekerja menyiapkan segala sesuatunya guna kepentingan pemakaman. Namun sayang memasuki hari ketujuh saat pelaksanaan pemakaman, salah seorang anggota keluarga yang bertanggungjawab pada alat upacara yaitu gendang melakukan tindakan yang senonoh. Ketika keluarga yang ditinggalkan memberikan makanan semacam sesaji kepada roh yang meninggal, orang tersebut tiba-tiba mengambil ekor kera yang digantung dalam rumah dan langsung memukulkannya ke gong. “Akibatnya seluruh mahluk halus yang ikut dalam acara itu langsung berteriak-teriak mengeluarkan suara yang mengerikan karena merasa telah dihina dan diganggu upacara kematian itu, kemudian alam berubah menjadi gelap dan seketika itu juga datang hujan yang diiringi petir yang bersahut-sahutan dan tidak ketinggalan angin puting beliung,” katanya. Lebih jauh dikatakannya, akibatnya dalam sekejab mata seluruh penghuni lamin ketakutan luar biasa dan berusaha menyelamatkan diri dari amukan alam, namun sayang akhirnya semuanya berubah menjadi mahluk halus sedangkan peti mati, lesung, alu, gong, gendang serta semua perabotan rumah tangga yang ada dalam lamin berubah menjadi batu sedangkan Lamin roboh serata dengan tanah. “Seluruh peristiwa saat itu sungguh terbilang sangat dahsyat dan aneh,” ujarnya. MAHP






























Jantur Inar Yang Terkulai

INAR - nama seorang putri bangsawan yang hidup di sekitar tahun 1.800 di Kampung Temula - Kecamatan Nyuatan - Kabupaten Kutai Barat - Provinsi Kalimantan Timur, yang namanya kini diabadikan pada sebuah air terjun -yang dalam bahasa Dayak setempat disebut Jantur yang ketinggiannya mencapai 60 meter.

Sesungguhnya kisah Inar, sebuah kisah hidup yang dirundung duka lara dan kepedihan hidup gadis muda yang harus mengakhiri hidupnya dengan terjun ke dalam air terjun yang telah mengabadikan namanya. Sewaktu Bangsa Belanda menduduki bumi pertiwi khususnya Kalimantan (Borneo), seorang Tumenggung bernama Ngaroh dengan gelar Setia Raja, memiliki 8 anak, yaitu Krongo (Kakah Lauq), Tuli (Kakah Mantiq), Tongaq (Kakah Blokoq), Kobaq (Kakah Bioroq), Teq, Main, Ukay dan Ruay. Ragetn seorang cucu sang Tumenggung dari anak sulung, Krongo, menikah dengan Kudus dan tinggal di Lamin Temula. Empat anak dilahirkan Ragetn yaitu, Ayus, Lejiu, Gunung dan Inar sebagai putri bungsu.

Kisah ini diceritakan oleh Yopentius Sangkin, 79 tahun, cicit kandung dari Ayus saudara tertua Inar, yang pernah menjabat Kepala Kampung Temula periode 1984-1994 dan Kepala Adat selama 6 tahun.

Setelah dewasa Inar menikah dengan seorang pemuda bernama Baras namun keduanya tidak dikaruniai anak. Sejak kecil Inar menderita penyakit barah, semacam kudis dan lemah tulang setengah lumpuh. Suatu saat sang suami mengalami kebutaan hingga tidak bisa bekerja untuk menghidupi Inar dan dirinya sendiri, akhirnya Inar harus bersusah payah untuk mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, ditambah lagi tidak ada satupun sanak saudaranya yang mau menghiraukan dan memperhatikan nasibnya.

Hingga pada suatu hari Inar dan Baras beristirahat di puncak sebuah air terjun yang mengalir deras setelah seharian bekerja menjadi umbi keladi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari di dalam keranjang rotan (Lanjung) besar. Disaat keheningan itu Baras marah-marah dengan mengeluarkan suara yang cukup keras sambil melempar batu ke bawah jantur, karena menyesali nasib hidupnya yang hina dina. Kemarahan Baras itu dilatarbelakangi karena dia tidak bisa bekerja disebabkan kebutaan ditambah lagi isterinya Inar selalu sakit-sakitan. Tanpa berpikir panjang tiba-tiba Baras mendorong istrinya ke bawah air terjun yang cukup tinggi mencapai 60 meter disusul oleh Baras dan seketika itu juga Baras mati ditempat. Namun lain halnya dengan Inar, ia tidak mati karena ditahan oleh sebuah Pelangi yang muncul tiba-tiba dan hilang secara gaib bersama jasad Inar dan itu hingga sekarang tidak pernah ditemukan, maka sejak itu jantur di Kampung Temula Kecamatan Nyuatan diberi nama Inar atau dikenal Jantur Inar.

Dibalik cerita mistik yang mengharukan, Inar tetap menjadi idola untuk berwisata dan tidak pernah pengunjung jantur terganggu oleh fenomena gaib walaupun lokasi sekitar Inar cukup membuat bulu kuduk merinding bila sedang sepi atau ketika hari menjelang senja. Karena itu semua tenggelam dalam pikiran yang terbuai gemercik air jantur yang bersih dan dingin ketika mandi atau sekedar memandangi air yang terjun dari ketinggian 60 meter sambil mendengarkan alunan lagu yang teratur yang dihasilkan air terjun memukul kumpulan bebatuan yang tersusun rapi di dasar kolam. Bahkan Kesejukan makin terasa dibarengi oleh hempasan embun yang dilemparkan benturan air terjun dengan batu alam di hutan yang terbilang masih perawan.

Inar yang berada di Kampung Temula sekitar 30 km dari Sendawar, dapat dicapai dengan kendaraan roda dua maupun empat dan jalan ke sana sangat baik karena sudah diaspal dengan memakan waktu sekitar 1 jam. Inar yang berada di ujung Kampung Temula dan sebelum sampai ke sana pengunjung akan melewati beberapa kampung seperti Mencimai, Enkuni Pasek, Pepas Eheng, Muut dan Terajuk. Di kampung yang dilewati ini juga menyimpan potensi objek wisata yang menarik untuk dikunjungi seperti Kampung Pepas Eheng yang memiliki objek wisata Lamin Adat Eheng dan Lungun Batu Bergantung.

Jantur Inar yang berada di kiri jalan menuju ibukota kecamatan Nyuatan yaitu Dempar, akan nampak papan nama Jantur Inar yang terpampang dengan jelas. Setibanya Kurang lebih 400 meter melalui jalan tanah sampailah ke puncak jantur Inar yang seakan menarik kita untuk turun ke bawah dengan suara hempasan airnya. Jantur setinggi 60 meter lebih ini masih kelihatan alami dengan lumut-lumut yang menempel di batu-batu dan tumbuhan liar di sekelilingnya. Untuk melihat keindahan Jantur Inar pengunjung harus menuruni sekitar 200 anak tangga berjarak 20 centi meter satu sama lain.

Namun saat penulis berkunjung ke Jantur Inar, ada sebuah keprihatinan yang meniris hati dan mata walaupun keindahan disuguhkan oleh si Inar. Hutan perawan yang ada telah ada sejak dahulu kini habis ditebang penduduk sekitar untuk dijadikan areal perladangan, akibatnya pemandangan hijau serta kicauan burung kini telah berkurang dan mulai hilang berganti dengan padang tandus yang berwarna coklat kehitaman-hitaman akibat aktifitas pembakaran hutan. Disatu sisi juga disekitar areal objek wisata dan sepanjang sungai yang mengalir ke dalam Jantur Inar mulai dipenuhi pemukiman penduduk, akibatnya menambah kekumuhan areal objek wisata, dan debit air kian hari kian menyusut, dan akan berlimpah air di musim penghujan. Lambat laun air yang dahulu bersih bening akan berubah menjadi coklat dan diikuti sampah dari segala aktifitas manusia yang ada di atasnya. Inar yang dulunya sakit lumpuh dan mengidap barah atau luka yang berbau busuk, hampir tidak jauh berbeda dengan keadaan yang ada sekarang ini. Inar sekarang tetap saja Inar Yang Terkulai. MAHP

Kamis, 24 April 2008

Anggrek Hitam Kersik Luway Diambang Kepunahan



* Tumbuh di Cagar Alam Kersik Luway

* Kabupaten Kutai Barat Kalimantan Timur

Anggrek Hitam dalam bahasa latin Coelogyne Pandurata, adalah satu-satunya anggrek yang tumbuh di Kabupaten Kutai Barat Kalimantan Timur, dan tidak tumbuh ditempat lain dimuka bumi ini. Ada suatu kebanggaan tersendiri bagaimana tidak Anggrek Hitam hanya tumbuh di Indonesia, sehingga memaksa wisatawan asing yang berasal dari luar Kutai Barat harus rela datang ke Kubar untuk melihat dari dekat seperti apa itu Anggrek Hitam.

Anggrek Hitam sebelum berbunga tidak jauh berbeda dengan tanaman anggrek lainnya, namun saat berbunga akan nampak sekali perbedaannya dengan anggrek-anggrek lainnya. Anggrek Hitam dalam bahasa Inggris disebut Black Orchid, berbentuk seperti binatang Kalajengking dan ditengah-tengahnya akan muncul warna hitam pekat yang dikelilingi warna hijau mudah, sehingga memberikan kekaguman bagi mereka yang memandangnya. Namun sayang kekaguman itu tidak sebanding dengan kondisi di lapangan, akibat kebakaran hebat yang terjadi berturut-turut setiap tahunnya, mulai tahun 1982, 1992, 1998, 2005, 2006 dan 2007. Akibatnya luas lahan semula 5.500 hektar kini mengalami penyusutan menjadi 17,5 hektar, sehingga Anggrek Hitam terancam punah ditambah lagi dengan kasus pencurian yang dilakukan oleh tangan-tangan jahil yang mempercepat kepunahan.

Kersik Luway yang arti dalam bahasa Dayak berarti ‘Pasir Sunyi’, adalah sebuah lokasi tempat tumbuhnya populasi Anggrek Hitam yang telah ditetapkan oleh Departemen Kehutanan - Jakarta sebagai Cagar Alam dan kini dikelola oleh Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur, dan dijaga oleh 4 petugas konservasi secara bergiliran menjaganya. Setiap hari dua orang penjaga yang berjaga-jaga mulai dari pukul 08.00 hingga pukul 12.00 wita dan dilanjutkan dari pukul 13.00 wita hingga 17.00 wita, sedangkan malam hari tidak ada yang menjaga.

Untuk mencapai Cagar Alam Kersik Luway tidak terlalu sulit sekali, karena akses jalan darat yang dapat dilalui kecuali pada musim penghujan sangat licin sekali, sehingga harus ekstra hati-hati melintas di jalan tanah. Kersik Luway yang berada di Kecamatan Sekolaq Darat - Kabupaten Kutai Barat - Kalimantan Timur, tepatnya berada di pertengahan poros jalan Sekolaq Darat dengan jalan Samarinda kurang lebih 10 kilometer. Sebelum tiba di lokasi, pengunjung akan melintas di halaman depan kantor Kecamatan Sekolaq Darat dan objek wisata air terjun Jantur Gemuruh yang dipenuhi batu-batu gunung yang tersusun rapi. Bagi wisatawan luar Kutai Barat yang ingin berkunjung ke Kersik Luway tidak sulit sekali. Wisatawan yang datang dari Samarinda atau Kutai Kartanegara dapat menggunakan kendaraan roda sekitar 7 jam menuju ibukota Kutai Barat - Sendawar dan langsung menuju ke Kecamatan Sekolaq Darat. Sedangkan wisatawan yang datang dari Luar Kalimantan Timur, begitu tiba di Bandara Sepinggan Balikpapan dapat melanjutkan menggunakan pesawat menuju Kutai Barat sekitar 1 jam, dan begitu tiba di Bandara Melalan dilanjutkan menggunakan kendaraan roda empat menuju Kecamatan Sekolaq Darat.

Saat memasuki Kersik Luway pengunjung disuguhkan tulisan ‘Selamat datang di Kersik Luway’ pada gapura dan tanpa dipungut bayaran dan sekitar 10 meter dari pintu gerbang akan bertemu dengan posko yang dijaga 1 orang penjaga yang berasal dari BKSDA. Setiba disana terlebih dahulu mengisi buku tamu, baru dapat memasuki lokasi Anggrek Hitam. Kalaupun kita ingin mengetahui lokasi anggrek hitam dapat meminta penjaga mengantar ke lokasi yang paling banyak ditumbuhi.

“Tempat tumbuh dan berkembangnya Anggrek Hitam dan jenis anggrek lainnya berada di areal 5.500 hektar namun sejak terjadi beberapa kali kebakaran mulai dari tahun 1982, 1992, 1998 dan 2006 kondisi cagar alam Kersik Luway mengalami penyusutan menjadi 17,5 hektar. Kini kelangsungan Anggrek Hitam terancam punah karena ruang tumbuh dan berkembangnya ikut menyusut juga,” ungkap Didimus penjaga Cagar Alam Kersik Luway.

Ditambahkannya, yang menjadi keunikan dari Cagar Alam Kersik Luway yaitu hamparan pasir putih yang menyebar tak berujung dengan ketinggian 136 meter dari permukaan laut dan ini sebuah fenomena yang unik dan mungkin tidak terdapat di di daerah lain. Perlu diketahui sebelum terjadi kebakaran hebat pada tahun 1982, koleksi anggrek Kersik Luway mencapai 72 jenis dan kini tinggal tersisa 57 jenis.
Saat tidak sedang berbunga Anggrek Hitam nyaris tidak berbeda dengan jenis anggrek lainnya. Namun, saat musim berbunga barulah Anggrek Hitam tampak keunikannya dengan anggrek lainnya. Anggrek hitam berbunga setiap bulan, tetapi tidak penuh dan bunga hanya bertahan sekitar seminggu. Untaian bunga tersusun dalam satu tandan yang panjangnya mencapai 20 centimeter dengan jumlah bunga 14 kuntum. “Bunganya berwarna hijau muda namun pada bibir bunganya yang berbentuk biola berwarna hitam berupa titik-titik hitam yang sangat pekat dan rapat, dan sangat mudah sekali ditemukan dibawah rerimbunan pepohonan. Anggrek hitam kelopak bunganya tidak berwarna hitam pekat tetapi justru berwarna hijau muda yang sangat cantik. Bentuk kelopak bunganya menyerupai kalajengking besar dengan diameter sekitar 10 centimeter,” ungkap pria yang bekerja sejak tahun 1996.

Diakuinya, di Cagar Alam Kersik Luway ini tidak hanya ditumbuhi Anggrek Hitam saja namun ada jenis anggrek lainnya seperti Anggrek Merpati (Dendrobium Rumenatum) yang ketika berbunga bentuknya seperti kepak sayap merpati. Adapun warnanya putih bersih, hanya saja selama satu hari saja dan besok pagi sudah layu. Kemudian Anggrek Tebu (Gramatoplilum Speciosium) karena panjangnya bisa mencapai dua meter dan bunganya mirip belimbing kecil dengan bintik-bintik coklat, kuning dan hitam dan berbunga setahun sekali pada bulan Desember dan mampu bertahan selama tiga bulan hingga bulan Februari. Masih banyak anggrek lainnya yang hidup di Kersik Luway ini seperti Anggrek Ratap Tangis, Kumis Kucing, Buluh Rindu Bambu dan Anggrek Anyaman. “Yang menarik lagi di Kersik Luway banyak tumbuh tanaman kantong semar yang unik dan menarik,” ujarnya.

Berkaca dari itu semua, kondisi Cagar Alam Kersik Luway sungguh memprihatinkan dan kini mulai terancam kepunahan akan habitat tanaman anggreknya, selain disebabkan oleh karena kebakaran hutan tetapi juga disebabkan oleh tangan-tangan jahil yang tidak bertanggungjawab yang dapat mempercepat kepunahan anggrek-anggrek yang tumbuh damai dalam kesunyiannya, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan ketika pejabat negara maupun daerah sewaktu datang berkunjung ke Kersik Luway. Kini tinggal kita merenungkan, apakah tanaman langka ini dibiarkan punah begitu saja tanpa ada upaya penyelamatan. MAHP