Senin, 28 April 2008

Ekor Kera Pukul Gong Berubah Batu


BERAWAL dari sebuah keisengan seorang warga yang sebenarnya tidak boleh dilakukan alias pantang atau pamali akhirnya berdampak pada timbulnya bencana besar sehingga orang lain ikut menerima akibatnya seumur hidup. Dalam kehidupan masyarakat Kampung Keay, Kecamatan Damai pada ribuan tahun lalu, ada seorang warganya iseng-iseng memukulkan ekor monyet panjang sejenis Lutung Putih pada sebuah gong dalam acara adat kematian – dalam bahasa Tunjung Benuaq disebut Kwangkai – maka terjadilah bencana besar dimana semua mahluk hidup, peralatan adat dan peti mati di dalam proses acara itu menjadi batu – dan legenda itu dikenal dengan Batuq Lungun (Batu Peti Mati). Kini legenda Batuq Lungun masih tersimpan rapi di dalam hutan lebat Kampung Keay, walaupun ketika melihat situs itu sungguh memprihatinkan sekali karena tidak terawat karena diatas dua batuq lunggun dipenuhi tumbuhan lumut.

“Sebenarnya perbuatan itu tidak boleh dilakukan, karena dalam masyarakat Dayak Tunjung Benuaq itu pantang memukulkan ekor kera ke alat musik seperti gendang. Karena masyarakat Dayak menyakini asal muasal kera adalah manusia yang berubah wujud karena tingkah lakunya yang aneh seperti binatang,” kata Kepala Adat Kampung Keay Jingkuy Di lokasi situs Batuq Lungun, sebelum memasuki lokasi tepatnya di pintu masuk terdapat sebuah lesung batu yang dipergunakan untuk menumbuk padi. Jingkuy menjelaskan, di sekitar areal inilah letak situs purbakala Batuq Lungun dengan tanda sebuah lesung kayu yang telah berubah menjadi batu akibat kena kutukan dan ini adalah pintu masuk ke dalam areal situs tersebut. Batu yang berbentuk lesung panjangnya 2 meter dan ditengahnya terdapat dua lubang yang terbentuk sangat rapi sekali dan halus dibentuk oleh tangan manusia dengan ukuran 15 dan 20 centimeter. Namun sayang sekali batu itu telah ditumbuhi dengan lumut hijau sehingga terkesan tidak terawat. Kemudian melanjutkan perjalanan ke situs Batuq Lungun yang letaknya di pinggir mata air Sungai Lungun. Sambil menunjukkan kedua batu yang berbentuk peti mati Jingkuy mengatakan, inilah Batuq Lungun yang dahulunya adalah peti mati yang dalamnya berisi tubuh manusia yang telah meninggal dan biasanya disimpan dalam peti mati yang terbuat dari sebatang kayu yang dilubangi sebesar ukuran tubuh manusia yang meninggal. Jaman dulu penduduk Kampung Keay belum sebanyak sekarang ini hidup berkelompok di daerah ini karena sangat subur sekali dan aktifitas mereka sehari-hari berkebun dan berladang guna mencukupi kebutuhan hidupnya. Bertahun-tahun mereka menempati daerah tersebut dan tidak ingin pindah karena kesuburan tanahnya, akibatnya keluarga itu semakin bertambah banyak dan akhirnya mereka bersepakat untuk membangun sebuah lamin besar dan panjang. “Lalu suatu hari mereka berkumpul dan bekerja sama mencari bahan bangunan untuk mendirikan rumah panjang dan besar yang sekarang dikenal dengan Lamin. Setelah berbulan-bulan menbangunnya akhirnya bangunan itu selesai dibangun dan seluruh keluarga diboyong dari rumah pondokan ke dalam lamin dan hiduplah dengan damai dan tentram dalam satu atap,” ceritanya. Bertahun-tahun hidup damai tentram, lanjutnya, tiba-tiba salah satu anggota keluarga jatuh sakit. Lalu dengan segala cara dilakukan untuk mengobati penyakit yang diderita namun tidak kunjung jua sembuhnya. Bahkan dipanggil seorang dukun yang diharapkan mampu untuk mengobati penyakit itu tapi tidak kunjung sembuh sampai akhirnya nyawa anggota keluarga itu tidak dapat tertolongkan lagi dan meninggal dunia sehingga duka yang dalam bagi penghuni lamin. Keesokan harinya, seluruh anggota keluarga bergotong royong menebang kayu besar untuk dibuatkan peti jenazah atau dalam bahasa Dayak Tunjung Benuaq Lungun. Proses pembuatan Lungun memerlukan waktu yang panjang dan baru sore hari jasad anggota keluarganya meninggal baru dapat disimpan dalam peti jenasah. Lalu selama tujuh hari tujuh malam mereka mengadakan upacara kematian (Kwangkai), upacara itu berlangsung dengan khidmat. Semuanya bekerja menyiapkan segala sesuatunya guna kepentingan pemakaman. Namun sayang memasuki hari ketujuh saat pelaksanaan pemakaman, salah seorang anggota keluarga yang bertanggungjawab pada alat upacara yaitu gendang melakukan tindakan yang senonoh. Ketika keluarga yang ditinggalkan memberikan makanan semacam sesaji kepada roh yang meninggal, orang tersebut tiba-tiba mengambil ekor kera yang digantung dalam rumah dan langsung memukulkannya ke gong. “Akibatnya seluruh mahluk halus yang ikut dalam acara itu langsung berteriak-teriak mengeluarkan suara yang mengerikan karena merasa telah dihina dan diganggu upacara kematian itu, kemudian alam berubah menjadi gelap dan seketika itu juga datang hujan yang diiringi petir yang bersahut-sahutan dan tidak ketinggalan angin puting beliung,” katanya. Lebih jauh dikatakannya, akibatnya dalam sekejab mata seluruh penghuni lamin ketakutan luar biasa dan berusaha menyelamatkan diri dari amukan alam, namun sayang akhirnya semuanya berubah menjadi mahluk halus sedangkan peti mati, lesung, alu, gong, gendang serta semua perabotan rumah tangga yang ada dalam lamin berubah menjadi batu sedangkan Lamin roboh serata dengan tanah. “Seluruh peristiwa saat itu sungguh terbilang sangat dahsyat dan aneh,” ujarnya. MAHP






























0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda