Selasa, 29 April 2008

Tamasya Karangan

KETIKA air sungai Mahakam mengalami penurunan volumenya di bulan Oktober hingga Maret dikarenakan musim kemarau tiba ternyata membawa berkah bagi masyarakat Kubar yang tinggal di sepanjang sungai. Karena saat air sungai surut banyak bermunculan pulau pasir ditengah-tengah sungai, dan dalam masyarakat Kabupaten Kutai Barat Provinsi Kalimantan Timur disebut dengan nama Karangan.

Keberadaan Karangan selalu dijadikan tempat objek wisata, dimana warga setempat maupun wisatawan lokal yang berasal dari daerah daratan seperti Linggang Bigung, Sekolaq Darat, Barong Tongkok memanfaatkan tempat itu untuk berwisata di atas karangan dengan membawa makanan dan minuman sambil berenang karena saat itu air sungai Mahakam jernih, bening, bersih dan dingin sekali. Selain untuk berwisata juga dimanfaatkan warga disekitar karangan untuk mengumpulkan ranting-ranting kayu yang hanyut untuk dimanfaatkan sebagai kayu bakar. disamping itu juga yang paling seru lagi banyak warga yang menggunakan kesempatan mencari biji-biji emas yang tersembunyi dibalik pasir karangan.

Mengetahui hal itu Penulis menyempatkan diri berkunjung ke salah satu karangan di Kampung Keliwai - Kecamatan Long Iram yang banyak sekali ditemukan kayu bakar, batubara dan biji emas, dan dengan ditemani tiga anak dari kampung tersebut yang merupakan keturunan Dayak Bahau yaitu Kuleh, Loren dan Anton yang ketiga masih duduk di sekolah dasar SDN 008 Keliwai untuk melihat dari dekat karangan yang ada di depan Kampung Keliwai dengan Kampung Long Daliq dengan lebar karangan mencapai 10 meter dengan panjangnya mencapai 3 kilometer.

Dengan menggunakan perahu kayu bermesin ces berkekuatan 5 PK yang dibawa Loren siswa kelas 5 ini dengan santai menarik tali stater ces dan seketika itu juga menyala, kemudian dengan perlahan-lahan dia menurunkan baling-baling ces ke dalam air dan dalam sekejap perahu ces melaju membelah air sungai menuju hulu kampung tempat letak karangan. Dalam hitungan beberapa detik akhirnya sampailah di atas karangan, perahu yang digunakan berlabuh di atas karangan. “Hampir setiap sore warga dari kedua kampung bermain di atas karangan seperti mandi, mencari kayu, batu bara yang dalam bahasa dayak disebut Batoq Apuy bahkan mencari butir-butir emas,” ungkap Loren saat menjejakkan kakinya di atas karangan.

Sebenarnya untuk dapat tiba di atas karangan bisa dilakukan dengan dua cara yaitu berenang atau mengunakan perahu, katanya, kalau berenang dapat dilakukan dari Kampung Keliwai karena sungainya sangat dangkal sekali, bahkan kalau surut dapat berjalan di atas dasar sungai yang kedalam air hanya mencapai 80 centimeter meskipun begitu harus ekstra hati-hati karena arus air sungai cukup deras. Sebenarnya dari Kampung Long Daliq juga dapat digapai melalui berenang hanya saja itu terlalu berbahaya karena dasar sungai sangat dalam sekali dan arus air sangat deras sekali sehingga sangat berbahaya sekali dan lazimnya warga dari kampung ini menggunakan perahu ces. Bahkan kebanyakan kapal-kapal besar lebih banyak melintas dari alur sungai ini karena sangat dalam sekali dibandingkan dari kampung Keliwai, walaupun begitu jenis perahu ces juga dapat melintas di alur sungai yang melintas depan kampung Keliwai.

Kemudian Penulis mengajak ketiga anak Kampung Keliwai untuk mengelilingi karangan sembari mengumpulkan kayu bakar dan keranjang rotan atau dalam bahasa Dayak disebut anjat dibawa Loren. Tanpa sadar tiba-tiba Anton berteriak, “Batoq Apuy,” sambil mengambil batu berwarna hitam sebesar bola kasti yang cukup ringan sekali dan tidak berapa lama kemudian Loren maupun Kuleh termasuk Penulis juga mendapatkan batubara yang kemudian dikumpulkan dalam anjat yang dibawa Loren yang jumlah hampir mencapai puluhan buah batubara. “Oya disini banyak sekali batubara Om, dan biasanya dikumpulkan untuk pemantik api saat menghidupkan kayu api, disamping itu juga dipergunakan untuk pemanas tubuh yang baranya dikumpulkan dalam kaleng yang sering digunakan pada saat musim penghujan atau juga digunakan untuk mengusir Agas hewan kecil seperti nyamuk yang suka menghisap darah manusia di saat sore hari menjelang magrib,” ungkapnya.

Saat tiba di ujung karangan tepatnya dihulunya karangan yang menghadap Kampung Ujoh Halang, kami melihat seorang iburumah tangga yang dipanggil warga Kampung Bibi Bung sedang duduk di dalam air sambil tanganya mengerakkan piring besar dengan lebarnya 50 centimeter. Ternyata sedang asyik mendulang emas atau dalam bahasa daerah disebut Ngerebooq. Piring yang dipegangnya adalah sebuah kayu yang dibentuk sedemikian rupa menyerupai piring besar yang disebut Dulang, saat itu terlihat dia sedang mengambil pasir dari dasar sungai dan dimasukkan dalam piring lalu digoyang-goyang Dulang berlawanan arah jam. “Saya ini lagi mencari biji emas saat karangan timbul karena air sungai Mahakam surut,” akunya.

Ditambahkannya, sebenarnya keberadaan bijih emas di karangan Kampung Keliwai ini tidak dapat dipisahkan dari keberadaan sungai Babi yang mengalir dari tambang emas milik PT KEM. Karena dari PT KEM itu sungai Babi bermuara ke Sungai Mahakam, sementara itu di dalam sungai Babi banyak sekali warga yang tinggal di atas sungai untuk mencari biji-biji emas dan terkadang hanyut hingga ke karangan di Keliwai. “Walaupun begitu karangan ini dulunya penuh dengan biji emas dan banyak warga yang mendulang di atas karangan ini, seiring dengan berhentinya PT KEM maka sejak itu juga bijih emas menipis, walaupun terkadang masih ada juga biji emas dengan jumlah yang sedikit,” ujarnya.

Kemudian Bibi Bung menunjukkan biji emas yang didapatnya dalam mangkok plastik berwarna pink, yang beratnya sekitar 2 gram dan itu nantinya akan dijual ke ibukota Kecamatan Long Iram karena banyak berkumpul penjual dan pembeli emas mentah. “Lazimnya bijih emas ini dihargainya untuk satu gramnya senilai Rp 120 ribu, dan biasanya dapat sebanyak itu jadilah untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari,” ujarnya.

Tak terasa matahari mulai tenggelam keperaduannya, dan kamipun harus kembali ke rumah untuk beristirahat sambil membawa kayu bakar dan batubara yang telah dikumpulkan. Sementara itu saat berada di rumah, Diman warga Kampung Keliwai menceritakan tentang lebar sungai Mahakam. Katanya, sungai Mahakam dulunya tidak selebar sekarang ini dan kalau tidak salah lebarnya hanya 10 meter saja, dan dulu ketika masih kecil berani berenang dari Kampung Keliwai ke Kampung Long Daliq pulang pergi. Namun sekarang ini tidak ada satupun yang berani karena lebar sungai Mahakam hampir mencapai 20 meter karena rusak diserang erosi gelombang air yang mengalir deras dari hulu Mahakam. Mudah-mudahan lebar sungai Mahakam di kampung ini tidak semakin lebar karena berdampak pada rumah penduduk yang terkena erosi sehingga mau tidak mau harus pindah. “Dulunya dari pinggir sungai sekarang ke arah depan sepanjang 10 meter banyak ditumbuhi tanaman kelapa dan kayu namun kini telah hilang tenggelam di dalam sungai dan itu dapat terlihat di dasar sungai dimana bekas-bekas kayu itu ketika air sungai Mahaam surut,” ungkap Diman. MAHP

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda