Hagong Wanita Berusia 110 Tahun
ALANGKAH indahnya bila kita memiliki umur yang panjang, dan kalau bisa sampai 1.000 tahun sehingga dapat melihat keturunan mulai cucu, cicit dan buyut, namun tidak semua manusia dapat menikmati itu dan hanya bagi mereka saja yang diberikan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa. Perpetua Hagong Hangin satu dari antara sekian umat manusia yang diberikan karunia oleh Tuhan untuk dapat hidup mencapai 110 tahun dan diberikan kesempatan untuk melihat 143 orang anak hingga buyut yang terdiri dari 9 anak, 8 menantu, 62 cucu, 28 buyut, 21 mantu cucu, 15 mantu buyut.
Di dalam usia 110 tahunnya, Hagong Hangin masih memiliki tubuh yang kuat dan dapat berjalan walaupun tidak jauh, bahkan memiliki mata, pendengar dan daya ingat yang sehat dan kuat. Dari raut wajah wanita tua ini masih terlihat awet muda dibandingkan dengan anak ketiganya Dionisius Luq yang mendampingi beliau untuk menterjemahkan bahasa Indonesia ke bahasa Dayak Bahau. Walaupun sebenarnya beliau sangat fasih bahasa Indonesia, sehingga saat berbicara terkadang bercampur bahasanya yaitu bahasa Indonesia dan Bahau. “Saat menjadi tenaga pendidik, saya paling takut dengan adat Dayak potong kepala manusia (Ayau) namun karena saat melaksanakan pekerjaann selalu ditemani beberapa laki-laki sehingga tidak merasa takut saat bekerja,” Kata Hagong dengan penuh semangat.
Ditambahkannya, masih dalam ingatan ketika hendak mengajar ke kampung-kampung seperti Apokayan, Tering hanya bisa ditempuh dengan perahu dayung yang berjumlah 8 orang yang terdiri dari 6 pria dan 2 wanita yaitu Perpetua Hagong Hangin dan Song Ding yang kebetulan adalah guru pendidikan. “Kami harus berdayung hingga berhari-hari bahkan berbulan-bulan untuk mencapai tempat tersebut dan paling jauh adalah Kampung Apokayan yang sekarang berada di Malinau, dan untuk sampai kesana harus melewati keganasan riam bahkan harus bermalam berhari-hari kalau air di riam terlalu ganas,” ceritanya. Awal mula menjadi tenaga pendidik, karena niat menjadi suster tidak mendapat restu dari pastor orang Belanda, dan ketika lulus sekolah ada seorang suster Belanda yang kembali ke negaranya, dan sebelum kembali suster tersebut meminta Hagong Angin untuk meneruskan pendidikan yang telah berjalan. “Tanpa memutuskan terlalu lama akhirnya memutuskan untuk meneruskan pendidikan yang telah berjalan hingga tahun 1940 mendidik,” ujarnya.
Dalam catatan sejarah Keuskupan Agung Samarinda tentang perjalanan hidup Perpetua Hagong Angin diceritakan, lahir di Mamahak Besar sekitar tahun 1898 merupakan anak ketiga dari pasangan suami isteri Bayo Ulo dan Hangin Ure. Menjadi murid sekolah rakyat para misionaris di laham yaitu selama tiga tahun dan melanjutkan pendidikan selama 3 tahun di Vlock School dan 2 tahun di Miss School. Setelah itu Hagong Hagin dipercayakan menjadi guru pertama sebagai pengajar pribumi di Laham, dengan masa mengajar di Laham sekitar 2 tahun kemudian dipindahkan ke Tering selama 1,5 tahun dan kembali ke Laham sampai menikah.
Pada tanggal 15 Desember 1934 ia dipersunting oleh Bapak Hajang Bulang, seorang pemuda asal kampung Ujoh Bilang, kelahiran Long Pahangai pada tanggal 10 Mei 1896 dari pasangan suami isteri Helaq Doh dan Bulan Mataliq. Selanjutnya para misionaris mengirim pasangan suami isteri ini untuk berkarya antara lain di Kampung Long Pakaq untuk mengawali karya sebagai guru dan pembukaan sekolah sebagai kepala sekolah, kemudian pindah ke Ujoh Bilang, Long Iram, Tekajung (Kalteng), Sirau, Jemhang (Apokayan), Gemuruh, Melak, Sei Akah, Datah Bunyau dan Mamahak Besar hingga pension pada tanggal 01 November 1974. MAHP